Khitan Wanita dalam Perspektif Islam
KHITAN WANITA
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebidanan
dalam Konteks Islam
Dosen pengampu mata
kuliah Milatun Khanifah, SST dan TIM
Kelas II C
Kelompok 5
1. Cintana Ramandika (
12.1119.B )
2. Ika Zuhrotunisa’ (
12.1151.B )
3. Riana Safitri (
12. 1186.B )
4. Wiwit Setyaningrum (
12.1215.B )
PRODI DIII KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
MUHAMMADIYAH
PEKAJANGAN PEKALONGAN
2014
PRAKATA
Puji syukur penyusun panjatkan Kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Khitan Wanita”.
Keberhasilan
dalan penyusunan makalah ini tidak lepas dari arahan, bimbingan, bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penyusun menyampaikan terima
kasih kepada :
1. Bapak
Muhammad Arifin, M.Kes selaku ketua STIKES Muhammadiyah Pekajangan.
2. Ibu
Pujiati Setyaningsih, SsiT. M.Kes selaku Ketua
Prodi D3 Kebidanan.
3. Ibu Milatun Khanifah dan TIM selaku dosen pengampu mata
kuliah.
4. Teman-teman
yang memberikan banyak referensi.
Penyusun sudah
berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan makalah ini, akan tetapi
penyusun mengharap kritik dan saran dari para pembaca sehingga tugas-tugas
selanjutnya menjadi lebih baik.
Penyusun
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada khususnya dan bagi
para masyarakat pada umumnya.
Pekalongan, Maret 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ............................................................................................ i
PRAKATA
........................................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah ....................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Khitan
....................................................................... 3
B. Sejarah Khitan ............................................................................ 3
C. Hukum Khitan ............................................................................ 5
D. Bentuk dan Tujuan Khitan
......................................................... 7
E. Batas Waktu Khitan
................................................................... 8
F. Khitan ditinjau dari Segi Kesehatan .......................................... 9
G. Mengkaji Khitan Perempuan
.................................................... 10
BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Kasus ........................................................................................ 12
B. Pembahasan............................................................................... 14
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
................................................................................... 16
B. Saran
......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Mungkin bagi sebagian
orang hal ini merupakan ironi yang
menyakitkan ketika fiqh klasik disinyalir member kesempatan kepada laki-laki untuk meningkatkan kesehatan dan kepuasan seksual secara
optimal, sedangkan kaum perempuan terus diredam dan dilemahkan agar agresivitas hasrat seksualnya bias dikontrol oleh komunitas
yang sampai sekarang masih didominasi oleh kaum laki-laki. Hal tersebut dapat ditemukan diantaranya pada khitan.
Dalam masyarakat muslim amalan atau praktik khitan dikaitkan dengan Millah nabi Ibrahim
a.s yang dikenal sebagai bapak para nabi( Abu Al Anbiya ) dan diperintahkan kepada kaum muslimin untuk mengikutinya.
DalamAl-Qur’an dinyatakan :
ثُمَّأَوْحَيْنَاإِلَيْكَأَنِاتَّبِعْمِلَّةَإِبْرَاهِيمَحَنِيفًاۖوَمَاكَانَمِنَالْمُشْرِكِي
Kemudian
Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan. (
Husein, 2007. h : 49 )
Khitan adalah pemotongan sebagian dari organ
kelamin.Untuk laik-laki pelaksanaan khitan hamper sama, yaitu pemotongan kulup (qulf
)pada penis laki-laki, sedangkan pada perempuan berbeda disetiap tempat, ada
yang sebatas pembuangan sebagian klentit
(clitoris), dan ada yang
sampai memotong bagian bibir kecil ( labio minora ).(
Husein, 2007. h : 49 )
Bagi sebagian masyarakat khitan bagi anak laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar. Namun tidak demikian dengan khitan wanita, mereka masih menganggapnya tabu atau menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mencari tahu Bagamaimana sebenarnya hukum khitan wanita di dalam pandangan Islam.
B.
RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah
dari makalah ini adalah Bagamaimana hukum khitan bagi wanita di
dalam pandangan
Islam.
C.
TujuanPenulisan
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagamaimana hukum khitan bagi wanita di
dalam pandangan
Islam.
2.
TujuanKhusus
a.
Untuk mengetahui pengertian khitan.
b.
Untuk mengetahui sejarah khitan
bagi wanita.
c.
Untuk mengetahui hukum khitan bagi wanita
d.
Untuk mengetahui bentuk dan
tujuan khitan bagi wanita.
e.
Untuk mengetahui batas waktu
khitan bagi wanita.
f.
Untuk mengetahui khitan ditinjau
dari segi kesehatan.
g.
Untuk mengkaji khitan bagi
wanita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Khitan
Khitan
menurut bahasa, Ibn Manzur mengatakan, al-khitan
berasal dari kata al-khatnu, yaitu
tempat dipotongnya kemaluan laki-laki dan perempuan. Dalam hadis dikatakan “apabila dua khitan bertemu maka wajib
mandi”.
Khitan
menurut syariat sebagaimana didefinisikan oleh ulama adalah memotong sebagian
yang khusus dari anggota tubuh yang khusus. ( Ibrahim, h : 29 )
Dalam
bahasa Arab, kata “khitan” adalah merupakan masdar
seperti kata qital dan nizal. Kata “khitan” juga berarti kulit
“kelamin yang tersisa setelah khitan dilakukan”. Dan kata ini juga merupakan
kata kerja dari fi’il “khatana”
(mengkhitan). Adapun untuk “khitan perempuan”, adakalanya orang Arab
menggunakan kata“khafdh” sehingga
untuk laki-laki digunakan kata “khitan”
sedangkan untuk anak perempuan menggunakan kata “khafdh”. ( Sayid. 2008, h :
356)
B.
Sejarah Khitan
Khitan atau sunat berasal dari bahasa arab “al-khitan”.
Al-khitan adalah isi masdar dari kerja “khatana” yang secara literal berarti
memotong. Yang dimaksud adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin. Pada
laki-laki, pelaksanaan khitan dilakukan dengan cara memotong kulit yang
memotong kepala penis ( khasyafah), sedangkan khitan pada perempuan dilakukan
dengan cara memotong bagian paling atas (kelentit) dari kemaluan (faraj)
perempuan, diatas tempat masuknya penis sewaktu senggama, yang berbentuk
seperti biji kurma atau jengger ayam jago.
Khitan sebagai suatu kegiatan yang telah mentradisi di
berbagai belahan dunia dan sampai sekarang masih dilakukan oleh
penganut-penganut islam, yahudi, dan sebagian penganut kristen yang berawal
dari tradisi nabi ibrahim.
Nabi Ibrahim adalah orang yang pertama kali dikhitan.
Dalam hadits shahih dinyatakan, nabi ibrahim dikhitan saat berusia 80 tahun.
Hal ini diterangkan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
R.A yang artinya:
“Nabi
Ibrahim a.s, kekasih Tuhan yang Maha Pengasih melakukan syariat khitan setelah
umurnya meampaui 80 tahun, dan ia melaksanakan khitan tersebut di (atau) dengan
Qadum.”
Pelaksanaan
khitan nabi ibrahim tersebut menjadi simbol dan pertanda ikatan perjanjian suci
(mitsaq) antara dia dengan Allah. Sementara bagi penganut koptik kristen dan
yahudi, khitan itu bukan hanya sebagai suatu proses bedah kulit bersifat fisik
sementara tetapi juga menunjuk arti dan esensi kesucian. Khitan juga
melambangkan pembukaan tabir kebenaran dalam ikatan perjanjian suci yang diikat
antara Allah dengan nabi ibrahim yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya.
Selanjutnya mereka mempertautkan antara khitan dan izin
pembacaa kitab suci taurat. Hanl ini menandakan bahwa sebelum mendapat “kartu
pengenal” atau “stempel Tuhan” berupa khitan untuk izin memasuki suatu daerah,
ia tidak diperkenankan memasuki kawasan suci kalam illahi dalam rangka
perjumpaan dengan Tuhan, karenanya ia melakukan dan mendapatkan simbol ikatan
suci tersebut. Ini tidak ubahnya dengan pembaptuisan yang dilakukan oleh
orang-orang kristen. Menurut mereka, mencelupkan anak-anak ke dalam air
pembaptisan itu berarti telah mensucikan anak-anak tersebut dan resmi menjadi pengikut
nasrani.
Tradisi khitan juga diberlakukan kepada kaum perempuan
yahudi pada masa itu. Tujuannya sama, yaitu mengikat perjanjian suci seperti
kaum laki-lakinya, karena agama ibrahim untuk laki-laki dan perempuan. Dalam
rekaman sejarah disebutkan, bahwa perempuan yang pertama kali dikhitan adalah
siti hajar. Menurut 1 riwayat, ketika siti saroh memberikan izin kepada nai
ibrahim untuk menikahi siti hajar kemudian siti hajar hamil, maka siti saroh
cemburu dan bersumpah akan memotong 3 bagian dari tubuh siti hajar. Kemudian
nabi ibrahim menyarankan siti saroh untuk melubangi kedua telinga dan menyunat
kemaluan siti hajar. Demikian awal mula praktik khitan di masa nabi ibrahim
yang kemudian menjadi tradisi hingga saat ini.
Praktek khitan perempuan di negara-neegara islam
bervariasi di kawasan maghribi misalnya di maroko, tunissia, algeria, turki,
khitan perempuan tidak dikena berbeda dengan di mesir. Para antropolog telah
mengungkapkan data bahwa praktek khitan telah populer di masyarakat mesir kuno.
Hal ini dibuktikan dengan dengan ditemukannya mumi perempuan abad ke-16 SM yang
memiliki tanda clitorodectomy (
pemotongan yang merusak alat kelamin perempuan ). Bahkan abad ke-2 SM, khitan
perempuan dijadikan sebagai ritual dalam acara perkawinan.
Menurut hasan hathout, pelaksanaan khitan terhadap
perempuan telah berlangsung lama sebelum kedatangan islam terutama di lembah
nil, yaitu sudan, mesir, dan etopia. Banyak penelitian lain yang menunjukkan
bahwa khitan telah ditemukan pada bangsa pengembara, yakni bangsa semid, hamid,
dan hamitoid di Asia Barat Daya dan Afrika Timur, beberapa bangsa di Afrika
timur dan Afrika selatan serta Indonesia. Di Indonesia misalnya, benda kuno
sebelum datangnya islam dari jawa tengah yang tersimpan di museum batavia
memperlihatkan zakar yang telah
dikhitan. Demikian pula tradisi khitan yang dilakukan oleh suku badui ( suku
sunda asli ) menunjukkan khitan ada sebelum islam datang.
C.
Hukum
Khitan
Para ulama
sepakat bahwa khitan wanita secara umum ada di dalam Syari'at Islam. (al-Bayan min
Al Azhar as-Syarif: 2/18) Tetapi mereka berbeda pendapat tentang satatus
hukumnya, apakah wajib, sunnah, ataupun hanya anjuran dan suatu kehormatan. Hal
ini disebabkan dalil-dalil yang menerangkan tentang khitan wanita sangat
sedikit dan tidak tegas, sehingga memberikan ruangan bagi para ulama untuk
berbeda pendapat. Meskipun demikian kita bisa meringkasnya dalam 3 pendapat,
sebagai berikut :
1.
Wajib
Khitan Baik Bagi Laki-Laki Dan Perempuan.
Yang berpendapat adalah Imam Syafi’I,
pendapat ini diriwayatkan dari Atha, bahkan Atha pernah mengatakan “seandainya orang sudah tua masuk islam,
tidak akan sempurna Islamnya sehingga dia dikhitan”. Dalil yang mendukung
pendapat ini adalah firman Allah SWT :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِي
Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
“Ibrahim
dikhitan sedangkan dia masih berumur delapan puluh tahun dengan menggunakan
kapak”
Mereka
bertumpu pada berbagai dalil, termasuk hadis-hadis lemah. Bagi yang ingin
mengetahui lebih luas hendaknya merujuk kembali pada kitab-kitab fiqih. Pada
perbuatan Ibrahim a.s tersebut tidak menunjukkan kewajiban khitan, bisa jadi
dilakukannya karena sunah. Penganut ini paham ini menjawab bahwa Ibrahim tidak
mungkin melakukan hal tersebut dalam usia seperti itu, kalau bukan karena
perintah Allah SWT.
2.
Khitan
Wajib Hanya Bagi Laki-Laki dan Sunah Bagi Perempuan
Artinya
mereka sepakat dengan pendapat yang pertama yaitu khitan merupakan hal yang
wajib tetapi hanya bagi laki-laki, sementara bagi wanita mereka masih
berselisih. Salah satu yang berpendapat bahwa khitan bagi perempuan adalah
sunnah hukumnya adalah Imam Ahmad Bin Hambal. Dalil mereka adalah hadist Syadad
bin Aus bahwa Rasullah bersabda :
“khitan
suatu sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan”.
3.
Khitan
Sunnah Hukumnya Bagi Laki-Laki Dan Perempuan
Ini
adalah pendapat Imam Malik dan sebagian besar ulama. Pendapat itu juga diambil
dari Syafi’I dan Abu Hanifah mereka berargumentasi dari hadis Abu Hurairrah
bahwa Rasullah bersabda :
“Kesucian
(fitra) itu ada lima : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut
rambut ketiak dan memotong kumis”.
Pendapat
yang lebih kuat, seperti yang dikatakn Asy-Syaukani, “Yang benar adalah tidak
ada dalil sahih yang membuktikan bahwa khitan itu wajib, sedangkan yang
meyakinkan adalah sunnah seperti hadist “kesucian
(fitrah) itu ada lima…………” maka wajib berhenti apad suatu hal yang
meyakinkan hingga ada dalil yang mengharuskan pindah pendapat. ( Ibrahim, h :
33 )
D.
Bentuk dan Tujuan Khitan
Khitan laki-laki yang telah membudaya di berbagai belahan
dunia, dilaksanakan dalam bentuk yang hampir sama, yaitu pemotongan kulup penis
( kulit kepala zakar) laki-laki.
Sedangkan khitan bagi perempuan dilakukan secara berbeda untuk masing-masing
tempat. Ada yang hanya sebatas membasuh ujung klitoris, ada yang hanya mencolek
ujung klitoris dengan memasukkan jarum, menggesek dengan kunyit, dan ada juga
yang membuang sebagian klitoris, dan ada yang menggunakan cara membuang seluruh
klitoris. Bahkan ada yang sampai memotong labia mayora seteah terlebih dahulu
membuang seluruh klitoris. Beberapa bentuk khitan diatas, selain membasuh dan
mencolek ujung klitoris lebih sering diistilahkan dengan female genital mutilation (FGM).
FGM mengutip nahit taubiyah, dapat dikategorikan menjadi
2 yakni (1) Clitoridectomy, menghilangkan sebagian atau lebih dari alat kelamin
luar. Ini termasuk didalamnya (a) menghilangkan sebagian atau seluruh klitoris
(b) menghilangkan klitoris dan sebagian bibir kecil vagina.
Sementara
yang ke (2) invibulation, yaitu
menghilangkan seluruh klitosris serta sebagian atau seluruh labia minora,
kemudian labia minora dijahit dan menutupi hampir seluruh vagina. Bagian yang
terbuka hanya disisakn sedikit untuk pembuangan darah menstruasi yang kadangkala
hanya sekecil kepala batang korek atau ujung kelingking. Jika perempuan
tersebut menikah adan akan bersenggama maka kulit tersebut dipotong atau dibuka
kembali.
Khitan secara umum tentu memiliki tujuan dan makna
sendiri. Secara medis khitan bagi laki-laki dianggap memiliki implikasi
positif. Lapisan pada penis terlalu panjang dan dirasakan sempit sehingga
dirasakan cukup suli jika lipatan-lipatannya itu akan dibersihkan. Bila tidak
dibersihkan, maka kotoran menjadimengumpul dan menggumpal seperti zat keputihan
yang disebut smegma dan ini
menyebabkan infeksi. Disamping itu smegma diduga dapat menyebabkan kanker leher
rahim bagi perempuan yang disetubuhinya.
Khitan juga dimaksudkan untuk memberikan kenikmatanyang
sempurna bagi laki-laki ketika berhubungan badan dengan istrinya. Kepala penis
yang berkulup ( tidak disunat ) lebih sensitif. Secara medis telah dibuktikan
bahwa bagian dari kepala penis itu sangat peka terhadap rangsangan karena
banyak mengandung syaraf-syaraf erotis. Dengan dibuangnya kulup tersebut akan
memperlama berlangsungnya hubungan seksual ( terhindar dari ejakulasi dini atau
prematur ), sehingga secara optimal laki-laki bisa menikmati pemenuhan
kebutuhan biologisnya. Hal ini sejalan dengan komentar sayyid sabiq yang
mengatakan bahwa; “Khitan untuk laki-laki
adalah pemotongan kulit yang menutupi ujung kemaluan untuk menjaga agar disana
tidak berkumpul kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing, dan agar tidak
mengurangi kenikmatan dalam bersenggama”.
E.
Batas
Waktu Khitan
Imam
Asy Syaukani mengatakan “tidak ada
ketentuan waktu khusus khitan, dan ini adalah mahdzab jumhur, dan tidak wajib
ketika masih kecil. Akan tetapi, menurut sebagain mahdzab Syafi’i, wajib
bagi wali untuk mengkhitani anaknya yang masih kecil sebelum baligh. Pendapat
ini ditolak dengan hadist Ibn Abbas :
“Said bin Jubain
berkata : Ibn Abbas pernah ditanya, ‘kamu seperti siapa ketika nabi Muhammad
wafat?’ dia menjawab ‘waktu itu saya sudah dikhitan’.
Pada waktu itu mereka mengkhitan
laki-laki hingga dewasa”.
Sebagaian
dari mereka berpendapat bahwa khitan sebelum usia 10 tahun haram hukumnya.
Pendapat tersebut juga ditolak dengan sebuah hadist “Nabi s.a.w mengkhitan Hasan dan Husein setelah hari ketujuh
kelahirannya”.
An
Nawwawi mengatakan “jika kita mengatakan
hadist riwayat tersebut benar disunahkan khitan pada hari ketujuh setelah
kelahiran”.
Ibnu
Hajj pengarang Al-Madkhal, mengatakan
kebiasaan para salaf adalah mengkhitan putra-putra mereka ketika sudah mulai
dewasa. Adapun khitan disaat puber, itu sudah jelas tidak boleh karena itu
membuka aurat setelah baligh haram hukumnya., disamping sakitnya jauh lebih
kuat dan sembuhnya pun akan lebih lama.
Berbeda jika dikhitan ketika masih kecil, sakitnya berkurang dan kesembuhannya
akan lebih cepat. Artinya tidak ada ketentuan yang membatasi waktu khitan,
tetapi akan lebih baik disunahkan khitan dilakukan waktu kecil seperti yang
dijelaskan alasannya oleh Ibn Hajj, semoga Allah meridhoinya.
F.
Khitan
Ditinjau dari Segi Kesehatan
Khitan
seperti yang diketahui menurut nabi saw adalah sunah, dan petunjuk dari nabi
Ibrahim as. Cukuplah hal itu menjadi keutamaan dan kemuliaan bagi kita.
Manfaat khitan
yang dinyatakan oleh para ulama adalah sebagai berikut :
1. Dalam
khitan terdapat manfaat yang sangat besar, yaitu ditemukan bahwa kulup apabila
tidak dipotong dalam waktu yang tepat, didalamnya akan membentuk sebuah mikroba
yang selalu berkembang dan berbahaya sekali, serta bisa mengancam kesehatan
seseorang.
2. Ketika
buang air kecil, tetesan air seni
tidak bisa keluar seutuhnya yang kemudian akan mengering diantara kulup dan
kepala zakar. Sisa air seni ini, disamping sebagai tempat mikroba dan bakteri
lain, juga sering menimbulkan najis pada pakaian dan badan. Dan hal itu sering
menyebabkan terjadinya penyakiit was-was bagi seseorang, yaiitu dia menyangka
bahwa air seni tersebut keluar dari zakar yang kemudiian dia harus mengulang
wudhu nya.
3. Menghilangkan kulup memeiliki peran penting dalam
berhubungan suami istri sebab yang tidak dikhitan akan merasakan kenikmatan
yang sangat berlebihan yang tidak bisa dirasakan oleh orang yang berkhitan.
Orang yang dikhitan dalam keadaan stabil, adapun yang tidak dikhitan dalam
keadaan berlebihan dan ini sangat berbahaya.
4. Khitan disamping sebagai penyiar islam juga sebagai
pembeda antara muslim yang menjaga sunah agama dengan muslim yang tidak menjaga
sunah agama atau yang dengan menentang akidah islam. Kebanyakan yang menjaga
khitan adalah orang-orang islam.
G.
Mengkaji Khitan Perempuan
Meskipun ditemui banyak dalil, tetapi semua ternyata
dalil tersebut, masih belum mampu menunjukkan secara pasti status hukum khitan
bagi perempuan. Sayyid Sabiq menegaskan bahwa “Semua hadits yang berkaitan
dengan khitan perempuan adalah dha’if, tidak
ada satupun yang shahih. Khitan bagi
perempuan adalah persoalan yang berada dalam ranah ijtihadiyah, sehingga status hukum khitan yang telah diformulasikan
oleh fukaha terdahulu masih bisa ditinjau kembali.
Aspek yang perlu diperhatikan ketika mengkaji ulang
status hukum khitan laki-laki dan perempuan adalah aspek maqashidal-syari’ah (tujuan pensyariatan hukum). Imam al syatibi
dalam kitab Al-Muwafaqat fiy ushul
Al-Syariah mengatakan bahwa sesungguhnya syariat islam itu dibangun atas
dasar tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia bagi dunia dan di akhirat.
Tidak satupun hukum Allah dalam pandangan Al-Syatibi yang
tidak mengemban misi kemslahatan manusia secara universal. Cita kemaslahatan
dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudakan dan dipelihara.
Kelima unsur pokok itu adalah memelihara agama (Hifdz Al-Din), jiwa (Hifdz
Al-Nafs), keturunan (Hifdz Al-Nasl),
harta (Hifdz Al-Mal), dan akal (Hifdz
Al-‘aqal). Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok
itu, Al-Syatibi membagi maqashid kepada tiga tingkatan. pertama, maqashid al-dlaruriyat yang dimaksudkan untuk memelihara
lima unsur pokok di atas. Kedua, maqashid
hajiyat yang dimaksudkan untuk menghilangkan atau menjadikan pemeliharaan
terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Ketiga, maqashid al-tahsiniyat yang dimaksudkan agar manusia dapat
melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok
tersebut dia atas.
Berangkat dari asumsi di atas, jelaslah bahwa yang
dijadikan dasar hukum adalah pertimbangan kemaslahatan. Khitan bagi laki-laki
dapat mendatangkan kemaslahatan dan manfaat yang cukup besar, yaitu menjaga
kebersihan dzakar (penis) dan
mencegah timbulnnya penyakit kelamin (veneral
disease). Sebab dibalik kulup itu terdapat tempat yang subur untuk
berkembangnya penyakit kelamin, bahkan bisa mendatangkan penyakit kanker rahim
bagi perempuan yang disetubuhinya. Apabila dikaitkan dengan pemeliharaan al-dlarurua al-khamsah diatas tampak bahwa khitan bagi laki-laki
bertujuan untuk pemeliharaan jiwa, baik suami ataupun istrinya.
Dari
kaidah tersebut dapat dipahami bahwa melukai anggota badan makhluk hidup
termasuk manusia seperti memotong sebagian organ kelamin hukum dasarnya adalah
haram, kecuali kalau memang dengan hal itu terdapat ke maslahatan.
Jadi,
hukum asal khitan adalah haram karena termasuk kategori melukai anggota tubuh.
Akan tetapi, pelaksanaan khitan bagi laki-laki menjadi diperbolehkan karena ada
alasan medis yang kuat untk pencapaian kemaslahatan yang lebh baik. Begitu
juga, pengambilan hukum khitan perempuan harus didasarkan atas aspek
maslahahnya. jika ada alasan medis yang kuat untuk pencapaian kemaslahatan yang
lebih baik, maka hukum khitan perempuan menjadi boleh. Sebaliknya, jika tidak ada
alasan medis yang kuat, maka hukum khitan perempuan kembali keasalnya, yaitu
haram.
BAB
III
KASUS
DAN PEMBAHASAN
A. Kasus
KAIRO,
KOMPAS.com — Seorang bocah perempuan berusia 13 tahun meninggal dunia saat
disunat di sebuah desa terpencil di Provinsi Daqahliya, di timur laut Kairo.
Demikian sejumlah media Mesir melaporkan, Senin (10/6/2013).
"Kami
menyerahkan anak perempuan kami kepada dokter dan perawat. Setelah 15 menit
kemudian, perawat membawa putri kami keluar dari ruang operasi ke sebuah ruang
lain bersama tiga anak perempuan lain yang juga disunat," kata Mohammad
Ibrahim, ayah anak perempuan malang itu.
"Saya
menunggu selama setengah jam, berharap putri saya akan bangun, tetapi ternyata
dia tidak bangun seperti anak-anak yang lain," tambah Ibrahim.
Dokter yang
menyunat Suhair al-Bata’a, nama anak perempuan itu, sebelumnya juga menyunat
kakak perempuan Suhair dua tahun lalu.
"Saya
tidak ingin apa pun. Saya hanya ingin dokter itu bertanggung jawab dan kami
ingin keadilan untuk putri kami," kata ibu Suhair, Hasanat Naeem Fawzy,
kepada harian al-Masry al-Youm.
Polisi
kemudian memeriksa dokter itu dan memerintahkan dilakukan otopsi untuk
memastikan penyebab kematian bocah malang tersebut.
"Petugas
dinas kesehatan mengatakan, penyebab kematian diduga adalah penurunan tekanan
darah yang drastis yang kemudian mengakibatkan trauma," ujar kuasa hukum
keluarga Suhair, Abdel Salam.
Dewan
Nasional Perempuan Mesir mengecam keras insiden ini dan menganggap kelalaian
ini sebagai sebuah tindakan kriminal yang menunjukkan sebuah "kebiadaban
ekstrem".
Dewan juga
menyerukan agar Pemerintah Mesir menggelar penyelidikan masalah ini dan
menjatuhkan hukuman setimpal terhadap orang yang bertanggung jawab.
Organisasi
Anak-anak Sedunia (Unicef) perwakilan Mesir juga mengecam tragedi sunat ini.
Unicef mengatakan, sunat perempuan tidak memiliki landasan medis atau agama
yang kuat.
Sementara
itu, pejabat Departemen Kesehatan di Daqahliya, Abdel Wahab Sulaeman,
mengatakan, pihaknya belum mendapatkan laporan soal insiden tersebut.
Namun, dia
mengatakan praktik sunat perempuan adalah tindakan yang melanggar hukum Mesir.
Pada 1996,
Mesir telah mengkriminalkan sunat perempuan, tetapi masih banyak warga negeri
itu yang melakukan sunat perempuan secara ilegal.
Pada 2009,
Pemerintah Mesir menahan seorang pria pelaku penyunatan perempuan. Ini adalah
penahanan pertama sejak sunat perempuan dilarang.
Pria itu
ditahan karena melakukan penyunatan ilegal terhadap seorang bocah perempuan
berusia 11 tahun di wilayah Minya, sekitar 600 kilometer sebelah selatan Kairo.
B.
Pembahasan
Berdasarkan kasus Suhair al-Bata’a anak
perempuan yang meninggal setelah disunat di atas, penulis dapat menguraikan
beberapa hal pada pembahasan ini, dimana penulis akan membandingkan antara teori dan kasus di atas.
Pada kasus Suhair dari Kairo tersebut
diketahui bahwa sunat bagi masyarakat Timur Tengah merupakan tradisi yang
dianggap sebagai cara melindungi keperawanan anak perempuan. Sunat yang
dilakukan menggunakan metode sunat mutilasi atau biasa disebut FGM atau Female
Genital Mutilation. Setelah setengah jam disunat Suhair tidak lagi bangun, dan
dinyatakan meninggal karena diduga adanya penurunan tekanan darah secara
drastis sehingga menimbulkan shock.Namun sayangnya tidak ada kepastian,
dikarenakan tidak ada catatan medis mengenai pemantauan keadaan Suhair setelah
selesai disunat.
Ditinjau dari beberapa kasus yang lain,
bahwa setelah dilakukan sunat FGM maka akan terjadi perdarahan yang banyak dan
tidak kunjung berhenti dalam waktu yang lama sehingga dapat menurunkan tekanan
darah dan menimbulkan shock hemorrhagic maupun shock hipovolemik.
Sunat perempuan dalam islam masih
merupakan kontroversi, ada yang menyatakan hukumnya haram ada pula yang
mengatakan hukumnya sunnah. Tetapi kembali lagi ditinjau dari bagaimana metode
yang digunakan dan adakah indikasi mengapa sunat tersebut dilakukan.
Sunat atau khitan pada perempuan
sebaiknya dilakukan hanya dengan menggores sedikit saja pada bagian ujung
klitoris, tetapi tidak diperbolehkan sampai memotong sebagian klitoris maupun
seluruhnya apalagi sampai memotong labia minora kemudian dijahit. Menurut wakil
direktur UNICEF sunat dengan metode FGM sudah termasuk dalam kategori
pelanggaran hak anak perempuan atas kesehatan, kesejahteraan dan
hak untuk memutuskan.
Ditinjau dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa sunat atau khitan dengan metode FGM ini haram hukumnya, karena masuk
dalam kategori menyakiti perempuan dan melanggar hak-hak anak perempuan.
Menurut studi dari Raymond dan Ali N (2010) sunat dengan metode FGM dapat
menimbukan beberapa risiko serius di antaranya pendarahan yang dapat mengakibatkan shock dan
kematian, tetanus, gangrene, kerusakan organ seksual, retensi urin, disfungsi
seksual, disfungsi haid, infeksi saluran kemih, inkontinensia urin hingga
trauma psikologis. Sunat dengan metode ini (FGM) hanya diperbolehkan apabila
ada indikasi medis yang menyertainya, seperti ada kulup yang begitu lebar yang
menutupi bagian paling sensitif atau pun bentuk klitoris yang terlalu besar,
itupun harus disertai dengan dokter bedah plastik karena perlu diadakannya
rekonstruksi.
Sedangkan sunat dengan cara menggores sedikit pada
ujung klitoris hukumnya adalah sunnah dan secara medis juga diperbolehkan,
karena menurut islam sunat dengan metode ini dapat menjaga kesucian, seperti
yang telah disebutkan dalam hadis Abu Hurairrah bahwa
Rasullah bersabda :
“Kesucian
(fitra) itu ada lima :khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong
kuku, mencabut rambut ketiak dan memotong kumis”.
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Setelah melihat sendiri dalil-dalil di
atas, maka penulis berpendapat bahwa sunat/khitan itu wajib bagi laki-laki dan
penghormatan/mubah buat perempuan. Pemilihan dikhitan tidaknya perempuan, lebih
ditentukan oleh hasil penelitan dokter muslim yang melakukan ada tidaknya
manfaat buat khitan perempuan. Jikapun tetap dilaksanakan, maka cara yang
digunakan harus sesuai dengan saran dokter, bukan seperti yang dilakukan oleh
beberapa suku di luar sana.
B.
Saran
1. Perlunya
kesadaran dari masyarakat serta perlunya penyuluhan supaya sadar bahwa tidak
ada dalil nash yang menjelaskan tentang khitan yang dilakukan kepada wanita,
dan tidak adanya manfaat praktek khitan tersebut juga terbilang merugikan kaum
perempuan serta pentingnya organ vital (klitoris) bagi wanita.
2. Setiap
terdapat perbedaan dalam masalah hukum, hendaknya di ambil pendapat yang
membawa kemaslahatan dan bukti sebuah penelitian ilmiah berkenaan dengan
manfaat atau substansi, untuk menghindari hal-hal yang merugikan perempuan,
laki-laki ataupun orang lain.
3.
Adanya perbedan pendapat harus
menjadi keberagaman bukan mengakibatkan perpecahan, yang dengan perbedaan
tersebut menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang agama,
hokum maupun kesehatan, secara jernih dan substantif.
DAFTAR PUSTAKA
Subhan, Zaitunah.2008. Menggagas Fiqh Pemberdayaa Perempuan. Jakarta:eL-Kahfi
Ibrahim, Majid
Sayid. 2007. 50 Nasihat Rasul U/ Wanita.
Jakarta : Mizan.
Muhammad Husain. 2007. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana dan Gender. Yogyakarta :
LKiS Yogyakarta.
diakses
pada 6 Maret 2014 jam 08.57 WIB.
0 Response to "Khitan Wanita dalam Perspektif Islam"
Post a Comment